Selasa, 22 Januari 2013

Masih Adakah Surga di Telapak Kaki Ibu Pelaku Korupsi?


Surga di telapak kaki ibu, istilah yang tidak akan dibantah oleh siapapun itu di Indonesia ini. Disekolah atau di tempat-tempat belajar agama, istilah ini sering diajarkan, khusunya agama Islam. Istilah tersebut memang populer, berdasar dan ada hukumnya. seperti banyak hadist yang telah diriwayatkan di beberapa kitab. Siapapun si ibu itu dan apapun yang diakukanya,  surga ditelapak kaki ibu diakui oleh anak-anaknya.

Siapakah yang berani menyangkal, jika surga itu dibawah telapak kaki ibu? Dari jaman dahulu kala hingga kini, ya ibu. Ibu atau perempuanlah yang mengandung dan mengendong anaknya semenjak di dalam perut hingga melahirkan. Kemudian masih juga harus merawat dan menyusuinya dengan kasih sayang,  menjaganya siang dan malam dikala kantuk mendera. Tidak ada seorang bapak seperti seorang ibu, yang mau mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan, kareana memang bapak tidak akan pernah melahirkan anak seperti seorang ibu.

Kalau dipikir-pikir saat ini, istilah surga ditelapak kaki ibu sudah bergeser. Artinya begini, istilah itu hanya sebagai dongeng bagi mereka kaum wanita yang hidup dijaman moderen dan meresa moderen ini. Nah, bergesernya adalah dari begitu penuh kasih sayang dan perhatiannya itu tiba-tiba jomplang saat melihat ibu-ibu yang menunggu anaknya mengemis di pinggir jalan. Ada ibu yang meracuni anaknya, meskipun dikabarkan terkena gangguan jiwa karena himpitan ekonomi atau lain sebagainya. Bahkan untuk kelas modern dan ibu-ibu yang berpendidikan sekarang ini, banyak yang beremansipasi melakukan tindak korupsi.

Tidak usah jauh-jauh dibahas menggunakan agama yang pastinya memiliki kebenaran 100%, bila menggunakan refferensi sejarah pun, emansipasi yang mereka lakukan dijaman ini jauh berbeda dari pelopornya terdahulu. Seperti pahlawan wanita R.A. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien dan beberapa pahlawan wanita lainnya yang tidak disebutkan itu menjadi pelopor emansipasi dan reformasi langkah perempuan yang semakin luas. Mereka ibu-ibu yang mencontoh pahlawan tersebut yang diperolehnya dari buku sejarah hanya pada satu sisi, yaitu dalam perjuangannya dan kegigihannya. Namun, apa R.A Kartini atau Dewi Sartika saat itu karena berjuang, lalu melupakan tugasnya sebagai ibu?

Sejarah membuktikan R.A Kartini wafat pada 17 September 1904,  4 hari sebelumnya, yaitu  pada tanggal 13 September 1904, ia melahirkan anak yang di beri nama Singgih atau RM Soesalit. Emansipasi yang dilakukan oleh RA. Kartini juga bukan mengejar materi alias duit atau karir (dcatwalk). Dewi Sartikan pun begitu, saat wafat pada 11 September 1947 di Cineam, Tasikmalaya dengan meninggalkan enam orang anak. Perjuangan dan emansipasinya pun dibidang pendidikan untuk kaum perempuan saati itu, bukan mengejar materi, karir atau apalah yang jadi model ibu-ibu jaman sekarang (Nurulusa). Cut nyak Dien juga mempunyai anak bernama Cut Gambang. Selama hidup bersama mereka berjuang dan berperang bersama sampai pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur dalam perang saat menyerang Meulaboh (erabaca).

Emansipasi yang dilakukan ketiga pahlawan perempuan atau ibu-ibu yang dimiliki Indonesia ini sangat jauh berbeda dengan ibu-ibu jaman sekarang. Kalau orang Jakarta bilang jauh tangeh (sekali). Di kaki para pahlawan mulia itu jelas masih ada surga, karena mereka melahirkan seorang anak dan pastinya si anak akan melihat itu. Perjuangannya pun mulia, bukan sekedar berjuang mengejar merek mobil atau rumah gedong, serta kesohor.

Dijamin, ketiga pahlawan yang disebutkan itu tidak merasa beremansipasi, tidak merasa berjasa dan tidak ingin perbuatannya itu dinilai dengan harta, tahta atau ketenaran (maaf, harusnya wanita nih, karena perempuan ya diganti dengan ketenaran saja). Sekarang ini ada tidak yang seperti emansipasi para pahlawan perempuan itu? Dulu tidak ada ibu-ibu melakukan penyuapan, korupsi, apalagi membunuh anaknya sendiri, seperti sekarang ini.

Hebatnya lagi, sekarang ini emansipasi menjadi semakin heboh, makin maju dan tidak mau kalah dengan laki-laki dalam melakukan korupsi. Bahkan mereka para ibu yang korupsi ini lebih jago dari para laki-laki yang melakukan korupsi. Contoh nyata dan belum lama, perempuan yang banyak menyandang gelar, dari gelar akademik, gelar kehormatan, sampai bergelar duta orang utan yang gemar membaca itu lebih hebat dibanding rekannya yang berbuat korupsi. Hakim tunduk dan ngelokro (tidak berdaya) dalam memutuskan vonis, apalagi cantik wah gemeteran si hakim.

Lantas, siapa yang mereka contoh, khususnya ibu-ibu yang sekarang ini emansipasinya melakukan korupsi? Bila melihat sejarah tidak ada refferensi bagi ibu-ibu Indonesia ini untuk melakukan tindak kejahatan, apalagi korupsi. Apa modalnya bisa seberani itu ya? jangan dilihat dari agama, dari sisi ke ibuan saja sudah janggal, sepertinya mereka para ibu yang melakukan korupsi ini tidak lagi memiliki perasaan seorang ibu. Lah wong berani menipu, membohongi dan merampok uang yang bukan haknya, padahal mereka sadar dampaknya akan merugikan banyak orang, termasuk anaknya sendiri, bagaimana ini? Apa mereka masih layak disebut seorang ibu yang ditelapak kakinya ada surga? Huh...jelas tidak pantas!

Melihat sejarah yang belum lama memang pada jaman ini demokrasi lebih berjalan, tapi dijaman otoriter masih banyak surga ditelapak kaki ibu. Kenapa begitu? Lihat saja mana ada dijaman itu ibu-ibu yang korupsi. Mereka yang korupsi rata-rata laki-laki alias kaum bapak-bapak, entah karena "harta, tahta atau wanita". Memang benar yang terjerat saat ini ibu-ibu yang juga hidup di jaman otoriter waktu itu, tapi kan mereka berkasus dijaman setelah otoriter. Era setelah jaman otoriter memang semakin terbuka banyak celah, apalagi celah melakukan korupsi. Ini dimanfaatkan oleh ibu-ibu pintar untuk beremansipasi, bahkan tidak mau kalah dengan kaum bapak-bapak dalam melakukan korupsi.

Kalau begitu, masih pantas atau masih adakah surga di telapak kaki ibu model mereka-mereka yang melakukan tindak pidana korupsi? Hanya Tuhan Yang Tahu atau mungkin rumput yang bergoyang pun tahu jawabanya. Tapi, buat ibu-ibu yang melakukan korupsi tidak usah kuatir, anak ibu masih melihat itu meski samar.



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Comments
0 Comments

0 komentar: